Mengkaji Eksistensi Allah dalam Kapasitas Akidah yang Benar (Bag. 1)
Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain.
Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya.
Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian.
Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi.
Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya:
Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada);
Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah);
Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan;
Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat;
Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar.
Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya.
Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya.
Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟
“Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?”
Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair,
وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ
“Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).”
Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita.
Bukti secara fitrah
Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya,
فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11)
Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ
“Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858)
Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1]
Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah.
Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2]
Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan,
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ
‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).”
Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.
Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya.
Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3]
Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah,
أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ
“Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62)
Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah,
وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67)
وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12)
وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ
“Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33)
Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak.
Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng,
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan,
إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ
“Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865)
Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah.
Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5]
[Bersambung]
***
Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad
Artikel asli: https://muslim.or.id/101107-mengkaji-eksistensi-allah-dalam-kapasitas-akidah-yang-benar-bag-1.html